DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK
Pembimbing : drg. Budi Yuwono, M.Kes
Ketua : Fitria Krisnawati (111610101064)
Scriber Meja : Dewi Martinda H. (111610101073)
Scriber Papan : Deo Agusta R.P. (111610101083)
Anggota :
1.
Maharja
Jathi P. (111610101027)
2. Ratih Delio (111610101040)
3.
Chusna
Sekar Wardani (111610101061)
4. Nugraheni Tri Rahayu (111610101057)
5. Anugerah Nur Yuhyi (111610101063)
6. Sitti Nur Qomariyah (111610101066)
7.
Tiara
Fortuna B.B. (111610101067)
8. Sheila Dian P. (111610101071)
9. Adinda Martina (111610101072)
10.
Nurbaetty
Rochmah (111610101074)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tutorial skenario 1 pada blok Kuratif
dan Rehabilitatif I pada minggu pertama dengan
judul Anestesi lokal dan Eksodonsia.
Makalah ini disusun untuk memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok VI pada
skenario pertama.
Penulisan makalah ini semuanya tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada :
1.
drg.
Budi Yuwono, M.Kes, selaku tutor pembimbing yang telah membimbing jalannya
diskusi tutorial kelompok VI Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember dan
yang telah memberi masukan yang membantu, bagi pengembangan ilmu yang telah
didapatkan.
2.
Teman-teman
kelompok tutorial VI dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan ini.
Dalam penyusunan laporan ini tidak lepas
dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan–perbaikan di masa mendatang demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat berguna bagi kita semua.
Jember, 6 September 2013
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Cover................................................................................................................... 1
Daftar Anggota Kelompok ................................................................................. 2
Kata Pengantar ................................................................................................... 3
Daftar Isi ............................................................................................................. 4
Skenario .............................................................................................................. 5
Mapping............................................................................................................... 6
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 7
......... 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 7
......... 1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 7
......... 1.3. Tujuan Masalah................................................................................... 8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 9
BAB 3 PEMBAHASAN.................................................................................... 11
BAB 4 KESIMPULAN..................................................................................... 44
Daftar Pustaka .................................................................................................... 58
Anestesi lokal dan Eksodonsia Skenario 1
Pak Benu umur 45 tahun datang ke RSGM FKG
Unej atas rujukan bagian lain dengan permintaan pencabutan gigi. Data
pemeriksaan klinis intra oral terdapat gigi 12, 13 dan 28 dengan kondisi karies
profunda perforasi serta gigi 43 dan 48 sisa akar, masing-masing gigi tersebut
diindikasikan untuk dilakukan eksodonsi. Pemeriksaan vital sign dan kondisi
fisik pasien baik.
MAPPING
EKSODONSIA
|
Indikasi
|
Kontraindikasi
|
Tahapan
Eksodonsi
|
Persiapan
|
Teknik
|
Perawatan Eksodonsi
|
Pembagian
|
Anestesi Lokal
|
Sifat Ideal
|
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pencabutan
gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari tulang alveolar, dimana pada
gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan
gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan jaringan bergerak dan
jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang dibatasi oleh bibir dan pipi, dan
selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan lidah dan rahang. Pencabutan
gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh atau akar
gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik di
masa mendatang.
Untuk
menghindari terjadinya rasa sakit pada saat proses pencabutan hendaknya
dilakukan anestesi terlebih dahulu sebelum dilakukan proses pencabutan.
Anestesi yang biasa dilakukan pada bidang kedokteran gigi adalah anestesi
lokal. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai eksodonsi (pencabutan gigi) serta
anestesi lokal akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Anestesi lokal
a. Bagaimana pembagian
anestesi lokal?
b. Apa saja sifat ideal
yang harus dimiliki obat anestesi lokal?
c. Apa saja komplikasi
yang mungkin timbul akibat anestesi lokal?
d. Bagaimana teknik
anestesi lokal?
e. Apa saja bahan
anestesi lokal dan bagaimana dosisnya?
2. Eksodonsi
a.
Apa saja indikasi dilakukan eksodonsi?
b.
Apa saja kontraindikasi dilakukan eksodonsi?
c.
Bagaimana teknik eksodonsi?
d.
Apa saja persiapan alat, pasien dan operator
yang harus dilakukan sebelum tindakan eksodonsi?
e.
Bagaimana perawatan pasca eksodonsi?
1.3 Tujuan masalah
1.
Mampu
menjelaskan anestesi lokal :
a.
Pembagian
b.
Sifat
Ideal
c.
Komplikasi
d.
Teknik
e.
Bahan
dan Dosis
2.
Mampu
menjelaskan eksodonsi :
a.
Indikasi
b.
Kontraindikasi
c.
Teknik
d.
Persiapan
Alat, Pasien, dan Operator
e.
Perawatan
pasca eksodonsi
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anestesi
Lokal
Anestesi lokal ialah obat yang
menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
2.1.1 Pembagian
Anestesi Lokal
Pembagian anestesi lokal berdasarkan area
yang teranestesi :
a.
Nerve
block, merupakan metode aplikasi anestesi lokal dengan penyuntikan cairan
anestesi pada atau sekitar batang saraf utama sehingga mencegah impuls saraf
afferent disekitar titik tersebut.
b.
Field
block, merupakan metode anestesi lokal yang dilakukan dengan memasukkan cairan
didaerah cabang saraf terminal yang besar sehingga area yang teranestesi
memblokir semua saraf afferent pada daerah tersebut.
c.
Local
infiltration, larutan anestesi lokal disuntikkan disekitar ujung saraf terminal
sehingga cairan anestesi terkumpul pada daerah tersebut sehingga mencegah
terjadinya stimulasi dan terbentuknya rasa sakit.
d.
Anestesi
topikal, dengan cara mengoleskan larutan anestesi lokal secara langsung pada
bagian permukaan (membrane mukosa, kulit terluka atau mata) untuk mencegah
stimulasi pada ujung ujung saraf bebas pada daerah tersebut (free nerve
endings).
Macam-macam teknik yang digunakan dalam
penatalaksanaan anestesi lokal:
a.
Infiltrasi
Anestesi
dilakukan dengan mendeponirkan cairan anestesi disekitar apeks gigi yang akan
dicabut di sisi bukal pada sulkus, adanya porositas pada tulang alveolar
menyebabkan cairan anestesi berdifusi menuju saraf pada apeks gigi. Biasanya
menggunakan jarum yang agak pendek.
b.
Anestesi
blok
Merupakan anestesi
dengan cara menginjeksikan cairan anestesi pada batang saraf yang biasa digunakan
untuk tindakan bedah di rongga mulut. Anestesi blok yang digunakan biasa dilakukan
adalah inferior dental blok, mental blok, posterior superior dental blok, dan infra
orbital blok. Biasanya anestesi menggunakan jarum lebih panjang ± 3,5 cm.
c.
Teknik-teknik
lain
Ada
teknik-teknik lain yang digunakan untuk anestesi seperti periodontal ligament
injection, intraosseous injection, dan intrapulpal injection.
(David Wray,
dkk. 2003)
2.1.2 Sifat
ideal
Anastetik Lokal yang Ideal:
1.
Potensi
dan reabilitasnya.
Persyaratan
pertama untuk substansi ideal adalah bila substansi dipergunakan secara tepat
dan dalam dosis yang tepat, substansi
ini akan memberikan efek anestesi lokal yang efektif dan konsisten.
2.
Aksi
reversible.
Aksi setiap
obat yang digunakan untuk mendapat anestesi lokal harus sudah hilang seluruhnya
dalam rentang waktu tertentu.
3.
Keamanan
Semua agen
anestesi lokal harus mempunyai rentang batas keamanan yang luas dari efek
samping yang berbahaya yang umumnya disebut
sebagai ‘toksisitas’.
4.
Kurang
mengiritasi
Tidak
menimbulkan luka atau iritasi pada jaringan karena suntikan agen anestesi
lokal. Karena alas an ini, larutan anestesi lokal harus isotonic dan mempunyai pH
yang sesuai dengan pH jaringan.
5.
Kecepatan
timbulnya efek
Idealnya,
suntikan agen tersebut harus diikuti segera dengan timbulnya efek anastesi
lokal.
6.
Durasi
efek
Lamanya
waktu pemulihan dari sensasi harus sama dengan lamanya waktu yang diperlukan
untuk prosedur perawatan gigi.
7.
Sterilitas
Karena agen
anestesi lokal akan dimasukkan kedalam jaringan, agen harus dapat disterilkan
tanpa menimbulkan perubahan struktur atau sifat.
8.
Berdaya
tahan lama
9.
Penetrasi
membran mukosa
Obat harus mempunyai sifat dapat menembus membran mukosa
sehingga anestesi topikal dapat diperoleh dengan mudah.
2.1.3 Komplikasi
Efek Samping terhadap Sistem Tubuh
1.
Sistem
Kardiovaskular:
a.
Depresi
automatisasi miokard
b.
Depresi
kontraktilitas miokard
c.
Dilatasi
arteriolar
d.
Dosis
besar dapat menyebabkan disritmia/ kolaps sirkulasi.
2.
Sistem
Pernapasan
Relaksasi
otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise
interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan napas.
3.
Sistem
Saraf Pusat (SSP)
SSP rentan
terhadap toksisitas anastetika lokal, dengan tanda-tanda awal parestesia lidah,
pusing, kepala terasa ringan, tinitus, pandangan kabur, agitasi, twitching,
depresi pernapasan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin beresiko
kerusakan saraf.
4.
Imunologi
Golongan
ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derivat
para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
5.
Sistem
Muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Tambahan
adrenalin beresiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3-4 minggu.
2.1.4 Teknik
a.
Anastesi
Lokal pada Rahang Atas
Anastesi lokal dapat dilakukan pada
N. maksilaris dan cabangnya.
1)
Lokal
infiltrasi (sering digunakan)
·
Saraf : cabang terminal/ free
nerve ending
·
Area
teranastesi : terbatas dimana
larutan anestesi lokal dilakukan
·
Pedoman
anatomis : tidak ada pedoman khusus
·
Indikasi : bila hanya sebatas mukosa
dan jaringan ikat dibawahnya
·
Teknik : jarum diinsersikan
dibawah mukosa ke dalam jaringan ikat
·
Symptom : tidak ada simptom subyektif
2)
Field
block
·
Saraf : cabang saraf terminal
besar
·
Area
teranastesi : semua area yg
diinervasi
·
Pedoman
anatomi : tergantung area yg diinginkan,
pedoman umum : letak gigi dan akarnya serta periosteum tulang alveolar yg
bersangkutan.
·
Indikasi : untuk lokal anestesi
satu/dua gigi RA dan sekitarnya
·
Teknik : Paraperiosteal/
supraperiosteal. tehnik ini sering digunakan karena porositas tulang RA; jarum
diinsersikan menembus membran mukosa dan jaringan ikat dibawahnya sampai
menyentuh periosteum lalu larutan dideponer
3)
Blok
N. alveolaris superior anterior dan medius (blok N. infra orbital)
·
Saraf : cabang saraf terminal
besar; n. infra orbitalis, n. alveolaris superior anterior dan medius, n.
palpebra inferior
·
Area
teranatesi : gigi insisive,
caninus, premolar dan akar mesio bukal gigi molar pertama bibir atas , pelupuk
mata bawah dan sebagian hidung
·
Pedoman
anatomi : infraorbital ridge,
infraorbital depression, supraorbital notch, gigi anterior dan pupil mata
·
Indikasi : untuk bedah yg melibatkan
gigi insisive, caninus, premolar dan akar mesio bukal molar pertama RA
·
Teknik : pasien diminta melihat
lurus kedepan lalu dipalpasi bagian supraorbital dan infraorbital notch,
ditarik garis khayal dari orbita pupil mata, foramen infraorbitalis, gigi
premolar ke-2 dan foramen mentalis. Jarum diinsersikan di mukolabial fold ± 1,9
mm
·
Simptom : Kebas pada bibir atas,
kelopak mata bawah dan sebagian hidung pada satu sisi
4)
Blok
N. alveolaris superior posterior
·
Saraf : N. Alveolar Superior
Posterior
·
Area : Gigi molar RA kecuali
akar mesiobukal molar pertama, periosteum jaringan ikat dan mukosa bukal
·
Pedoman
anatomi : mukobukal fold, batas
anterior dan proc. Coronoideus mandibula, tuberositas maksila
·
Indikasi : operasi gigi molar RA dan
jaringan penyangga
·
Teknik : Jari telunjuk meraba
mukobukal fold sampai mencapai proc. Zygomaticus hingga mendapatkan cekungan,
jari telunjuk diputar hingga kuku jari menghadap mukosa dan jari digeser
kelateral membentuk sudut 45o dengan bidang sagital pasien dan pasien diminta menutup sedikit mulutnya.
Jarum diinsersikan ditengah ujung jari paralel dengan ujung jari lalu dideponir
·
Symptom : Tidak ada symptom subyektif
5)
Blok
N. nasopalatina
·
Saraf : Nervus palatinus yg
keluar dari foramen insisivus
·
Area : bagian anterior
palatum durum dan mukosa yg menutupi sampai daerah
·
premolar
·
Pedoman
anatomi : gigi insisive pertama RA dan
papila insisiva
·
Indikasi : operasi bagian palatal
·
Teknik : jarum diinsersikan pada
foramen insisivus
·
Simptom : kebas pada mukosa palatum
6)
Blok
N. palatina mayor
·
Saraf : N. palatinus mayor
·
Area : bag. Posterior palatum
durum dan mukosa yg menutupi sampai daerah premolar pertama RA
·
pedoman
anatomi : molar kedua & ketiga RA,
margin gingiva gigi molar, garis median
·
palatum,
garis berjarak 1 cm dari marginal gingiva kegaris median
·
palatum
·
tekhnik : Jarum diinsersikan pada
foramen yg terletak di antara gigi molar ke-2 dan ke-3 RA sejauh 1 cm dari
marginal gingiva bagian palatal.
·
Symptom : kebas pada gingiva palatum
posterior
b.
Teknik
Anastesi Lokal pada Rahang Bawah
1)
Blok
N. Alveolaris Inferior
·
Saraf : N.alveolaris inferior
dan subdivisi; n. mentalis & n. insisivus
·
Area : corpus mandibula dan
bagian inferior ramus seluruh RB, seluruh gigi RB, mukosa dan jaringan di
bawahnya anterior dari molar pertama RB
·
pedoman
anatomi : lipatan mukobukal fold, batas
anterior ramus mandibula, linea obliqua interna, trigonum retromolar, linea
obliqua eksterna, ligamen pterygomandibula
2.1.5 Bahan
dan dosis
Beberapa anastetik lokal yang sering digunakan:
1.
Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan napas
atas. Lama kerja 2-30 menit.
2. Prokain (novokain)
Untuk infiltrasi: larutan 0.25-0.5%
Blok Saraf: 1-2%
Dosis 15 mg/ kg BB dan lama kerja 30-60 menit.
3. Kloroprokain (nesakain)
Derivat prokain dengan masa kerja lebih pendek.
4. Lidokain (lignocaine, xylocain, lidonest)
Konsentrasi efektif minimal 0.25%
Infiltrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
Kerja sekitar 1-1.5 jam tergantung konsentrasi larutan.
Larutan standar 1 atau 1.5% untuk blok perifer
0.25-0.5% + adrenalin 200.000 untuk infiltrasi
0.5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik
1.0% untuk blok motorik dan sensorik
2.0% untuk blok motorik pasien berotot (muskular)
4.0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring (pump spray)
5.0% bentuk jeli untuk dioleskan di pipa trakhea
5.0% lidokain dicampur 5.0% prilokain untuk topikal kulit
5.0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subaraknoid, subdural).
5. Bupivacain (marcain)
Konsentrasi efektif minimal 0.125%.
Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
Untuk anastesia spinal 0.5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik.
Untuk blok sensorik epidural 0.375% dan pembedahan 0.75%.
Dosis
Bupivakain untuk Dewasa
Prosedur
|
Konsentrasi %
|
Volume
|
Infiltrasi
Blok minor perifer
Blok mayor perifer
Blok interkostal
Blok epidural
Lumbal
Kaudal
Analgesi postop
Spinal intratekal
|
0.25-0.50
0.25-0.50
0.25-0.50
0.25-0.50
0.5
0.25-0.50
0.5
0.125
0.5
|
5-60 ml
5-30 ml
20-40 ml
3-8 ml
15-20 ml
5-60 ml
4-8 ml/ 4-8 jam (intermitten)
15 ml/ jam (continue)
2-4 ml
|
6. EMLA (eutetic mixture of local anesthetic)
Campuran emulsi minyak dalam air (krem) antara lidokain dan prilokain
masing-masing 2.5% atau masing-masing 5%. EMLA dioleskan dikulit intak 1-2 jam
sebelum tindakan untuk mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri
atau untuk miringotomi pada anak, mencabut bulu halus atau buang tato. Tidak
dianjurkan untuk mukosa atau kulit terluka.
7. Ropivakain (naropin) dan levobupivakain
(chirokain)
Penggunaannya seperti bupivakain, karena kedua obat tersebut merupakan
isomer bagian kiri dari bupivakain yang dampak sampingnya lebih ringan
dibandingkan bupivakain. Bagian isomer kanan dari bupivakain dampak sampingnya
lebih besar.
Konsentrasi efektif minimal 0.25%.
(Said A. Latief, 2002)
2.2 Eksodonsi
2.2.1 Indikasi
a.
Gigi
yang sudah karies dan tidak dapat diselamatkan dengan perawatan apapun.
b.
Pulpitis
atau gigi dengan pulpa non-vital yang harus dicabut jika perawatan endodontic
tidak dapat dilakukan.
c.
Periodontitis
apical. Gigi posterior non-vital dengan penyakit periapikal sering harus
dilakukan pencabutan.
d.
Penyakit
periodontal. Sebagai panduan, kehilangan setengah dari kedalaman tulang
alveolar yang normal atau ekstensi poket kebifurkasi akar gigi bagian posterior
atau mobilitas yang jelas berarti pencabutan gigi tidak bias dihindari lagi.
e.
Gigi
pecah atau patah. Dimana garis pecah setengah mahkota dari akar.
f.
Rahang
pecah. Jika garis gigi pecah mungkin harus dilakukan pencabutan untuk mencegah infeksi
tulang.
g.
Untuk
perawatan ortodonsi
h.
Supernumerary
teeth
i.
Gigi
yang merusak jaringan lunak, jika pengobatan atau terapi lainnya tidak mecegah
trauma atau kerusakan.
j.
Salah
tempat dan dampaknya. Harus dilakukan pencabutan ketika gigi menjadi karies,
menyebabkan nyeri, atau kerusakan batas gigi.
k.
Gigi
yang tidak dapat disembuhkan dengan ilmu konservasi
l.
Gigi
impaksi dan gigi non erupsi (tidak semua gigi impaksi dan non erupsi dicabut)
m.
Gigi
utama yang tertahan apabila gigi permanen telah ada dan dalam posisi normal.
n.
Persiapan
radioterapi. Sebelum radiasi tumor oral, gigi yang tidak sehat membutuhkan pencabutan,
atau pengangkatan untuk mereduksi paparan radiasi yang berhubungan dengan osteomelitis.
2.2.2 Kontraindikasi
1. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut
2. Pendarahan yang tidak diinginkan
3. Alergi pada anastesi local
4. Hipertensi jika pendarahan tidak terkontrol
5. Diabetes yang tidak terkontrol sangat mempengaruhi
penyembuhan luka
6. Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan
dengan perawatan konservasi, endodontic dan sebagainya.
2.2.3
Teknik
Teknik ekstraksi untuk gigi rahang atas
1. Gigi
incisivus Rahang Atas
Gigi incisivue RA diekstraksi menggunakan upper
universal forceps (no. 150) walau pun forceps lain bisa diunakan. Gerakan awal
pada ekstraksi ini harus pelan, konstan dan tegas pada arah labial yang akan
memperluas crestal buccal bone. Setelah itu dilakukan gerakan memutar yang
lebih pelan. Gerakan memutar tersebut harus diminimalisasi pada ekstraksi gigi
insisif lateral terutama jika ada lekukan pada gigi.
2. Gigi
kaninus rahang atas
Untuk ekstraksi gigi caninus rahang atas, dianjurkan
untuk menggunakan upper universal forceps (no. 150). Gerakan awal ekstraksi
gigi caninus dilakukan pada aspek buccal dengan tekanan ke arah palatal.
Sedikit gaya berputar pada forceps mungkin berguna untuk memperluas socket
gigi,terutama jika gigi sebelahnya tidak atau telah di ekstraksi. Setelah gigi
terluksasi dengan baik, gigi bisa di cabut dari socket ke arah labial-incisal
dengan labial tractional forceps
3. Gigi
premolar 1 Rahang Atas
Ekstraksi gigi ini dilakukan dengan upper universal
forceps (no. 150). Sebagai alternatif, bisa juga digunakan forceps no. 150A.
gigi harus diluksasi sebanyak mungkin dengan menggunakan elevator lurus. Gaya
berputar harus dihindari pada gigi ini agar tidak terjadi fraktur akar.
4. Gigi
premolar 2 Rahang Atas
Forceps yang direkomendasikan untuk ekstraksi gigi ini
adalah forceps no. 150 atau 150 A. gigi ini memiliki akar yang kuat, sehingga
pergerakan yang kuat bisa diberikan pada ekstraksi gigi ini.
5. Gigi
molar Rahang Atas
Forceps no. 53 R dan 53 L biasanya digunakan untuk
ekstraksi gigi molar rahang atas. Paruh pada forceps ini memiliki bentuk yang
pas pada bifurkasi buccal. Beberapa dokter gigi memilih untuk menggunakan
forceps no. 89 dan 90 atau yang biasa disebut upper cowhorn forceps. Kedua
forceps tersebit biasa digunakan untuk gigi molar yang memiliki karies yang
besar atau restorasi yang besar. Untuk mengekstraksi gigi molar ketiga yang
sudah erupsi, biasanya menggunakan forceps 210 S yang bisa dgunakan untuk
sebelah kiri atau kanan.
Pergerakan dasar ekstraksi gigi molar biasanya
menggunakan tekanan yang kuat buccal dan palatal, akan tetapi gaya yang
diberikan pada buccal lebih besar dibandingkan yang ke arah palatal. Gaya
rotational tidak digunakan pada ekstraksi gigi ini karena gigi molar rahang
atas memiliki 3 akar.
Teknik ekstraksi gigi Rahang Bawah
Ekstraksi Rahang bawah dianjurkan untuk menggunakan bite block. Selain
itu, tangan operator juga harus selalu menyokong rahang bawah
1. Gigi
anterior rahang bawah
Lower universal forceps (no. 151) biasanya digunakan untuk
ekstraksi gigi rahang bawah anterior. Pergerakan ekstraksi biasanya dilakukan
ke arah labial dan lingual, dengan menggunakan tekanan yang sama besar. Gigi
dicabut menggunakan tractional forceps pada arah labial-incisal.
2. Gigi
premolar rahang bawah
Pada ekstraksi gigi premolar rahang bawah, biasanya
digunakan juga forceps no. 151. Akan tetapi forceps no. 151A bisa dijadikan
alternatif. Pergerakan awal diarahkan ke aspek buccal lalu kembali ke aspek
lingual dan akhirmya berotasi. Pergerakan rotasi sangat diperlukan pada
ekstraksi gigi ini.
3. Gigi
molar Rahang Bawah
Forceps no. 17 biasanya digunakan untuk ekstraksi gigi
ini. Pergerakan kuat pada arah buccolingual digunakan unutuk memperluas socket
gigi dan memberikan kemudahan gigi untuk di ekstraksi pada arah buccoocclusal.
Untuk mengekstraksi gigi molar ketiga yang telah erupsi, biasanya digunakan
forceps no. 222
2.2.4
Persiapan Alat, Pasien, dan Operator
a. Alat
v Peralatan diagnostik
Alat-alat
dasar yang digunakan pada waktu pemeriksaan ialah :
1)
Pinset
KG dengan atau tanpa permukaan yang bergores pada ujung penjepit. Digunkan
untuk mengambil atau menjepit kapas atau tampon.
2)
Sonde
(dental Probe) lurus dan bengkok digunakan untuk pemeriksaan kedalam karies dan
mengetahui vitalitas gigi.
3)
Kaca
mulut dalam beberapa ukuran (mm) digunkan untuk melihat objek di rongga mulut.
4)
Eksavator
5)
Neirbeken
v
Peralatan
pencabutan gigi
Penggunaan perlatan yang efektif dimulai dengan pemahaman tentang
desainnya. Peralatan cabut dengan desain yang baik mempunyai keuntungan mekanis
untuk melipatgandakan tekanan yang diberikan sampai mencapai tingkat yang cukup
untuk menyelesaikan tugasnya. Elevator dan tang gigi berfungsi sebagai pengungkit
yang menghantarkan gaya atau tekanan ke gigi yang akan dicabut. Efektivitasnya
ditingkatkan oleh desain bilah elevator yang memungkinkan alat dipegang dengan
kuat dan nyaman selama digunakan. Efisiensi makin meningkat dengan adanya bilah
elevator dan paruh tang yang dapat mencengkeram struktur akar dengan erat
sehingga menghindari selip.
Penggunaan peralatan yang efektif tergantung pada ekonomi gerakan dan tentu
saja ekonomi instrumentasi. Menguasai benar-benar beberapa jenis alat, lebih
baik daripada hanya mengenal samar-samar bermacam-macam alat.
ELEVATOR
Jenis
|
Elevator
Lurus
|
Elevator Bengkok
|
Desain
|
Pegangan, tangkai, bilah paralel.
|
Bilah membentuk sudut terhadap tangkai dan pegangan.
|
Fungsi
|
Untuk mengetes anestesi, memisahkan perlekatan epitel, ekspansi alveolus,
evaluasi mobilitas, mengungkit ujung akar dan frakmennya, dan membantu
memotong bagian-bagian gigi.
|
Untuk menggeser gigi dan frakmen akar menjauhi titik tumpu dari alat ini.
|
Cara Aplikasi
|
Aplikasi paralel: diinsersikan pada mesio-gingival interproksimal,
paralel terhadap akar dengan cekungan bilah menghadap ke permukaan gigi yang
akan dicabut.
Aplikasi vertikal: diinsersikan pada mesio-gingival interproksimal tegak
lurus dengan gigi yang akan dicabut, cekungan bilah menghadap kearah permukaan
gigi.
|
Diinsersikan sedemikian rupa sehingga mendapat tumpuan yang aman,
biasanya pada aspek bukal alveolus. Digunakan dengan pinch grasp atau sling
grasp. Untuk aplikasinya bisa juga dibantu dengan pembuatan lubang kaitan.
|
Penghantaran
Tekanan
|
Aplikasi paralel: pertama tekanan diarahkan paralel terhadap sumbu
panjang akar. Tekanan tersebut cenderung mendilatasi alveolus dan menggeser
mahkota ke oklusal. Tekanan rotasional akan menggeser akar kearah bukal.
Aplikasi vertikal: tekanan yang dihantarkan terutama adalah rotasional,
dorongan dan ungkitan, keduanya mengakibatkan pergeseran gigi kearah
disto-oklusal.
|
Tekanan rotasional mengakibatkan bergesernya gigi atau frakmen akar
menjauhi titik tumpu alat.
|
Gambar
|
|
|
TANG
Jenis
|
Mandibula
|
Maksila
|
Desain
|
Paruhnya lebih membentuk sudut terhadap pegangannya. Paruh tang mandibula
selalu simetris. Pegangan vertikal jika digunakan, adalah khusus untuk
tang-tang mandibula.
|
Paruhnya cenderung lebih paralel terhadap pegangannya. Desain pegangan
bayonet hanya khusus untuk tang rahang atas. Modifikasi ini dimaksudkan untuk
membantu menghindari bibir bawah. Desain paruh yang asimetris, kanan dan kiri hanya
terdapat pada tang unutuk gigi molar atas.
|
Fungsi
|
Untuk menghantarkan tekanan terkontrol pada gigi, untuk dilatasi
alveolar, luksasi, dan pencabutan.
|
Seperti pada tang-tang mandibula, untuk menghantarkan tekanan terkontrol
pada gigi, dilatasi alcveolus, luksasi dan pencabutan.
|
Cara Aplikasi
|
Gaya vertikal yang diperlukan untuk adaptasi atau menempatkan tang diimbangi
oleh gaya berlawanan yang dikenakan terhadap mandibula dengan melakukan sling
grasp. Telapak tangan menghadap ke bawah.
|
Dikenakan pada daerah servikal gigi yang dicabut. Adaptasi diperoleh
melalui kombinasi dari tekanan mencengkeram dan apikal. Digunakan dengan
pinch grasp dan telapak tangan menghadap ke atas.
|
Penghantaran
Tekanan
|
Tekanan lateral yang terdiri dari
bukal dan lingual dihantarkan, tetapi tekanan lingual mungkin lebih
dominan pada pencabutan gigi-gigi molar bawah. Tekanan paralel, apikal dan
oklusal serta tekanan rotasional juga digunakan apabila diperlukan.
|
Lateral (bukal/ lingual), paralel (apikal/ oklusal), dan rotasional.
|
(Gordon W Pedersen, 1996)
b. Operator dan staff
Dokter gigi
merupakan penentu keberhasilan rencana pengontrolan infeksi di bedah mulut.
Tindakan control infeksi secara rutin dibuat untuk membatasi dan mengurangi
kontaminasi silang. Untuk itu, diperlukan tindakan pencegahan yang dilakukan
oleh operator dan staff salah satunya adalah dengan menggunakan pakaian klinik
untuk mencegah adanya darah maupun saliva mengotori pakaian, mencuci tangan
dengan sabun antiseptic, penggunaan masker, sarung tangan, dan juga kacamata
pelindung (triad barier).
c.
Pasien
Mendapat riwayat kesehatan dan
kesehatan gigi dengan teliti sebelum melakukan perawatan adalah kewajiban.
Selain itu pemeriksaan rongga mulut paling tidak mencakup jaringan lunak, gigi,
oklusi, dan malposisi gigi, serta jaringan pendukung dan struktur gigi.
2.2.5
Perawatan pasca eksodonsi
Menurut Laskin
(1985) dan Peterson (1998), ada beberapa tindakan pasca operatif yang harus dilakukan
yaitu sebagai berikut:
a.
Istirahat yang cukup, agar dapat membantu proses
penyembuhan luka.
b.
Pasien dianjurkan untuk tidak makan makanan yang
keras terlebih dahulu, terutama pada hari pertama pasca pencabutan gigi.
Makanan juga tidak boleh terlalu panas. Dan baru boleh makan beberapa jam
setelah pencabutan gigi agar tidak mengganggu terbentuknya blood clot. Dan
jangan mengunyah pada sisi yang baru dicabut.
c.
Banyak minum air untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
d.
Pasien harus selalu menjaga kebersihan mulutnya,
gigi harus disikat secara rutin, kumur-kumur dengan menggunakan saline solution
(1/2 sendok the garam yang dilarutkan dalam satu gelas air hangat).
e.
Untuk mengurangi rasa nyeri pasien boleh mengkonsumsi
analgesic. Selain analgesic, pengaplikasian dingin juga dapat digunakan untuk mengurangi
rasa sakit.
f.
Pasien tidak boleh merokok, karena dikhawatirkan
terjadi dry socket.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Anestesi
lokal merupakan obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal
pada jaringan saraf.
2. Pembagian anestesi lokal antara
lain :
a.
Berdasarkan
area yang teranestesi : nerve
block, field block, local infiltration, dan anestesi topikal.
b.
Berdasarkan teknik pelaksanaan anestesi lokal :
infiltrasi, anestesi blok, dan teknik-teknik lain (seperti periodontal ligament injection,
intraosseous injection, dan intrapulpal injection).
3. Sifat
ideal anastetik lokal antara lain :
a.
Potensi
dan reabilitasnya
b.
Aksi
reversible
c.
Keamanan
d.
Kurang
mengiritasi
e.
Kecepatan
timbulnya efek
f.
Durasi
efek
g.
Sterilitas
h.
Berdaya
tahan lama
i.
Penetrasi
membran mukosa
4. Komplikasi
yang timbul akibat anestesi lokal, antara lain :
a.
Sistem
Kardiovaskular : depresi automatisasi
miokard, depresi
kontraktilitas miokard, dilatasi
arteriolar, dosis besar dapat
menyebabkan disritmia/ kolaps sirkulasi.
b.
Sistem
Pernapasan : relaksasi otot
polos bronkus, henti napas,
dll.
c.
Sistem
Saraf Pusat (SSP) : parestesia
lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinitus, dll. serta tambahan adrenalin beresiko kerusakan saraf.
d.
Imunologi
: reaksi alergi.
e.
Sistem
Muskuloskeletal : tambahan
adrenalin beresiko kerusakan saraf.
6) Teknik
anestesi lokal :
a.
Anastesi
Lokal pada Rahang Atas
Anastesi lokal dapat dilakukan pada
N. maksilaris dan cabangnya.
Ø Lokal infiltrasi (sering digunakan)
Ø Field block
Ø Blok N. alveolaris superior anterior
dan medius (blok N. infra orbital)
Ø Blok N. alveolaris superior posterior
Ø Blok N. nasopalatina
Ø Blok N. palatina mayor
b.
Teknik
Anastesi Lokal pada Rahang Bawah
Ø Blok N. Alveolaris Inferior
7)
Bahan
dan dosis
Beberapa
anastetik lokal yang sering digunakan:
1. Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan napas
atas.
2. Prokain (novokain)
Untuk infiltrasi: larutan 0.25-0.5%
Blok Saraf: 1-2%
Dosis 15 mg/ kg BB dan lama kerja 30-60 menit.
3. Kloroprokain (nesakain)
Derivat prokain dengan masa kerja lebih pendek.
4. Lidokain (lignocaine, xylocain, lidonest)
Konsentrasi efektif minimal 0.25%
Infiltrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
Kerja sekitar 1-1.5 jam tergantung konsentrasi larutan.
Larutan standar 1 atau 1.5% untuk blok perifer
0.25-0.5% + adrenalin 200.000 untuk infiltrasi
0.5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik
1.0% untuk blok motorik dan sensorik
2.0% untuk blok motorik pasien berotot (muskular)
4.0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring (pump spray)
5.0% bentuk jeli untuk dioleskan di pipa trakhea
5.0% lidokain dicampur 5.0% prilokain untuk topikal kulit
5.0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subaraknoid, subdural).
5. Bupivacain (marcain)
Konsentrasi efektif minimal 0.125%.
Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
Untuk anastesia spinal 0.5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik.
Untuk blok sensorik epidural 0.375% dan pembedahan 0.75%.
6. EMLA (eutetic mixture of local anesthetic)
Campuran emulsi minyak dalam air (krem) antara lidokain dan prilokain
masing-masing 2.5% atau masing-masing 5%. EMLA dioleskan dikulit intak 1-2 jam
sebelum tindakan untuk mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri
atau untuk miringotomi pada anak, mencabut bulu halus atau buang tato. Tidak
dianjurkan untuk mukosa atau kulit terluka.
7. Ropivakain (naropin) dan levobupivakain
(chirokain)
Penggunaannya seperti bupivakain, karena kedua obat tersebut merupakan
isomer bagian kiri dari bupivakain yang dampak sampingnya lebih ringan
dibandingkan bupivakain. Bagian isomer kanan dari bupivakain dampak sampingnya
lebih besar.
Konsentrasi efektif minimal 0.25%.
8)
DAFTAR PUSTAKA
Howe, Geoffrey L. 1989. Pencabutan
Gigi Geligi. Jakarta : EGC.
Kruger GO. 1974. Textbook
of Oral Surgery, 4th ed. St. Louis: CV Mosby Co.
Laskin DM. 1985. Oral
and Maxillofacial Surgery, vol 2.St. Louis: The CV Mosby Co.
Peterson LJ. 1998. Oral
and Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Mosby Co.
Pedersen, Gordon W. 1996. Buku
Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
Starshak TJ, Sanders B. 1980. Preprosthetic Oral and Maxillofacial Surgery. London: The CV Mosby
Co.
Wray, David, dkk. 2003. Textbook
of General and Oral Surgery. Philadelphia: Churchill Livingstone.
Bagian bedah
mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. 2006. Buku Teks Bedah
Mulut I.